PERCOBAAN SETIA
karya suman H.S
karya suman H.S
Percobaa Setia merupakan roman karya sastrawan
Balai Pustaka, Suman H.S. Roman ini diterbitkan oleh Balai Pustaka pada tahun
1931. Roman ini berkisah tentang kesabaran, ketakwaan, kejujuran, dan perbuatan
baik lainnya yang pasti akan mendapat ganjaran yang baik pula. Demikian pula
halnya dengan perbuatan buruk pun akan mendapatkan ganjaran yang buruk pula.
Dengan kata lain, perbuatan buruk akan dikalahkan oleh perbuatan baik.
Peristiwa-peristiwa
dalam roman ini terjadi di Sumatra Barat (Sungai Kampar dan Taratak Buluh), dan
Malaka, dengan melibatkan tokoh-tokoh sebagai berikut: Syainsuddin, seorang
pemuda yatim yang taat beragama, jujur, sabar. Haji Djamin, seorang detektif.
Abdul Fatah, seorang penipu. Haji Salwah, wanita saleh, anak seorang saudagar
kaya tempat Syamsuddin bekerja. Ia juga merupakan orang tua angkat Syamsuddin.
Syamsuddin
sejak kecil telah menjadi anak yatim. Ayahnya meninggal dunia ketika ia baru
berumur 4 tahun. Bersama ibunya ia tinggal di Sungai Kampar. Ketika ia
menginjak usia 8 tahun, ibunya menikah lagi, namun untung baginya karena ayah
tiriya sangat mencintai dan menyayanginya. Ayah tirinya kemudian membawa
Syamsuddin, ibu, dan adiknya yang baru berumur satu tahun ke Tatarak Buluh. Di
tempat yang baru inilah, Syamsudin dididik belajar agama oleh ayah tirinya dan
ia pun belajar mengaji kepada seorang guru agama.
Ketika
Syamsuddin menginjak usia 16 tahun, ia meminta izin kepada orang tuanya untuk
pergi merantau. Permintaan itu dikabulkan oleh kedua orang tuanya. Pada
awal-awal perantauannya, nasib Syamsuddin sangat beruntung karena ia langsung
mendapat pekerjaan dan majikannya mengangkatnya sebagai anak. Namun, ia harus
meninggalkan rumah orang tua angkatnya ketika ada seorang gadis teman sekerja
yang menaruh hati kepadanya. Gadis itu berusaha menggoda Syamsuddin untuk
melakukan perbuatan terlarang. Namun, karena keimanan dalam diri pemuda itu
tidak mudah tergoyahkan. Syamsuddin berhasil mencegah dirinya dan godaan nafsu.
Karena merasa sakit hati, wanita itu kemudian memfitnah Syamsuddin, sehingga pemuda
itu dikeluarkan dari pekerjaannya.
Syamsuddin
meneruskan perantauan ke Malaka. Di tempat ini pun ia mempunyai majikan yang
menyayanginya. Bahkan, mereka menganggap Syamsuddin seperti anaknya sendiri.
Majikannya Semakin mempercayai dan menyayangi dirinya ketika ia berhasil
menyelamatkan Haji Salwah, anak gadis majikannya dari kobaran api. Setelah
kejadian itu, Haji Salwah menaruh hati kepadanya dan majikannya pun
menyetujuinya. Namun, karena anak mereka sudah menjadi haji, maka majikannya
memerintahkan Syamsuddin untuk menunaikan ibadah haji, ke Mekah. Hal itu
dilakukan untuk menghindari gunjingan orang.
Syamsuddin
pun berangkat ke Mekah dengan menggunakan kapal laut. Dalam perjalanan menuju
kota tersebut, ia bertemu dengan Jamin, salah seorang sahabatnya. Sejak saat
itu, keduanya selalu tampak bersama-sama dalam keadaan susah dan senang. Ketika
dompet Jamin hilang dicuri orang, Syamsuddin membantu sahabatnya dengan
berjualan rujak di atas kapal agar uang Jamin terkumpul kembali untuk
melanjutkan perjalanannya. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Mekah
dan sampai di kota itu sebulan kemudian.
Setelah
selesai melaksanakan ibadah haji, Syamsuddin harus berpisah dengan Jamin karena
pemuda itu bermaksud untuk menuntut ilmu di kota Mekah. Syamsuddin menginap di
Pulau Pinang. Di penginapan ini, ia bertemu dengan Abdul Fatah yang mengenal
keluarga Haji Salwah. Syamsuddin menceritakan rencana pernikahannya dengan Haji
Salwah kepada lelaki itu. Ternyata Abdul Fatah pun mencintai Haji Salwah dan ia
bermaksud untuk menggagalkan rencana pernikahan Syamsuddin. Ia mengatakan bahwa
Haji Salwah telah menikah dengan orang lain beberapa saat setelah kepergian
Syamsuddin. Namun, Syamsuddin tidak mempercayai kabar itu.
Mengetahui
siasatnya tidak berhasil, Abdul Fatah kemudian menjalankan siasatnya yang
kedua. Ia berusaha merekayasa sebuah tabrakan yang menyebabkan Syamsuddin
mengalami luka parah dan harus menjalani perawatan di rumah sakit, sedangkan ia
sendiri hanya mengalami luka ringan. Ia kemudian membawa barang-barang milik
Syamsuddin dan mengatakan kepada keluarga Haji Salwah bahwa Syamsuddin telah
meninggal. Dengan demikian, rencana pernikahannya dengan Haji Salwah akan
berjalan mulus.
Siasatnya
itu hampir berhasil kalau saja Jamin tidak segera pulang ke tanah air dan
menerangkan perihal yang sebenarnya kepada keluarga Haji Salwah. Pemuda itu
telah mengetahui semua akal bulus Abdul Fatah dan sahabatnya, Syamsuddin. Pada
mulanya ia juga mempercayai kabar kematian Syamsuddin, namun salah seorang
temannya memberitahukan bahwa Syamsuddin sedang dirawat di rumah sakit. Ia pun
segera menengok Syamsuddin dan saat itulah ia mengetahui permasalahan yang
sebenarnya.
Atas
penipuan yang dilakukannya, Abdul Fatah, dijatuhi hukum penjara selama 6 tahun.
Sementara itu, setelah sembuh, Syamsuddin kembali ke tanah airnya dan
melangsungkan pernikahan dengan Haji Salwah.
Sengsara
Membawa nikmat
Karya sutan sati
Karya sutan sati
20 –an
Seorang
pemuda bernama Kacak, karena merasa Mamaknya adalah seorang Kepala Desa yang
dikuti, selalu bertingkah angkuh dan sombong. Dia suka ingin menang sendiri.
Kacak paling tidak senang melihat orang bahagia atau yang melebihi dirinya.
Kacak kurang disukai orang-orang kampungnya karena sifatnya yang demikian. Beda
dengan Midun, walaupun anak orang miskin, namun sangat disukai oleh orang-orang
kampungnya. Sebab Midun mempunyai perangai yang baik, sopan, taat agama, ramah
serta pintar silat. Midun tidak sombong seperti Kacak
Karena Midun banyak disukai orang, maka Kacak begitu
iri dan dengki pada Midun. Kacak sangat benci pada Midun. Sering dia mencari
kesempatan untuk bisa mencelakakan Midun, namun tidak pernah berhasil. Dia
sering mencari gara-gara agar Midun marah padanya, namun Midun tak pernah mau
menanggapinya. Midun selalu menghindar ketika diajak Kacak untuk berkelahi.
Midun bukan takut kalah dalam berkelahi dengan Kacak, karena dia tidak senang
berkelahi saja. Ilmu silat yang dia miliki dari hasil belajarnya pada Haji
Abbas bukan untuk dipergunakan berkelahi dan mencari musuh tapi untuk membela
diri dan mencari teman.
Suatu hari istri Kacak terjatuh dalam sungai. Dia hampir lenyap dibawa arus. Untung waktu itu Midun sedang berada dekat tempat kejadian itu. Midun dengan sigap menolong istri Kacak itu. Istri Kacak selamat berkat pertolongan Midun. Kacak malah balik menuduh Midun bahwa Midun hendak memperkosa istrinya. Air susu dibalas dengan air tuba. Begitulah Kacak berterima kasih pada Midun. Waktu itu Midun menanggapi tantangan itu. Dalam perkelahian itu Midun yang menang. Karena kalah, Kacak menjadi semakin marah pada Midun. Kacak melaporkan semuanya pada Tuanku Laras. Kacak memfitnah Midun waktu itu, rupanya Tuanku Laras percaya dengan tuduhan Kacak itu. Midun mendapat hukuman dari Tuanku Laras.
Midun diganjar hukuman oleh Tuanku Laras, yaitu harus bekerja di rumah Tuanku Laras tanpa mendapat gaji. Sedangkan orang yang ditugaskan oleh Tuanku Laras untuk mengwasi Midun selama menjalani hukuman itu adalah Kacak. Mendapat tugas itu, Kacak demikian bahagia. Kacak memanfaatkan untuk menyiksa Midun. Hampir tiap hari Midun diperlakukan secara kasar. Pukulan dan tendangan Kacak hampir tiap hari menghantam Midun. Juga segala macam kata-kata hinaan dari Kacak tiap hari mampir di telinga Midun. Namun semua perlakuan itu Midun terima dengan penuh kepasrahan.
Walaupun Midun telah mendapat hukuman dari Mamaknya itu, namun Kacak rupanya belum puas juga. Dia belum puas sebab Midun masih dengan bebas berkeliaran di kampung utu. Dia tidak rela dan ikhlas kalau Midun masih berada di kampung itu. Kalau Midun masih berada di kampung mereka, itu berarti masih menjadi semacam penghalang utama bagi Kacak untuk bisa berbuat seenaknya di kampung itu. Untuk itulah dia hendak melenyapkan Midun dari kampung mereka untuk selama-lamanya.
Suatu hari istri Kacak terjatuh dalam sungai. Dia hampir lenyap dibawa arus. Untung waktu itu Midun sedang berada dekat tempat kejadian itu. Midun dengan sigap menolong istri Kacak itu. Istri Kacak selamat berkat pertolongan Midun. Kacak malah balik menuduh Midun bahwa Midun hendak memperkosa istrinya. Air susu dibalas dengan air tuba. Begitulah Kacak berterima kasih pada Midun. Waktu itu Midun menanggapi tantangan itu. Dalam perkelahian itu Midun yang menang. Karena kalah, Kacak menjadi semakin marah pada Midun. Kacak melaporkan semuanya pada Tuanku Laras. Kacak memfitnah Midun waktu itu, rupanya Tuanku Laras percaya dengan tuduhan Kacak itu. Midun mendapat hukuman dari Tuanku Laras.
Midun diganjar hukuman oleh Tuanku Laras, yaitu harus bekerja di rumah Tuanku Laras tanpa mendapat gaji. Sedangkan orang yang ditugaskan oleh Tuanku Laras untuk mengwasi Midun selama menjalani hukuman itu adalah Kacak. Mendapat tugas itu, Kacak demikian bahagia. Kacak memanfaatkan untuk menyiksa Midun. Hampir tiap hari Midun diperlakukan secara kasar. Pukulan dan tendangan Kacak hampir tiap hari menghantam Midun. Juga segala macam kata-kata hinaan dari Kacak tiap hari mampir di telinga Midun. Namun semua perlakuan itu Midun terima dengan penuh kepasrahan.
Walaupun Midun telah mendapat hukuman dari Mamaknya itu, namun Kacak rupanya belum puas juga. Dia belum puas sebab Midun masih dengan bebas berkeliaran di kampung utu. Dia tidak rela dan ikhlas kalau Midun masih berada di kampung itu. Kalau Midun masih berada di kampung mereka, itu berarti masih menjadi semacam penghalang utama bagi Kacak untuk bisa berbuat seenaknya di kampung itu. Untuk itulah dia hendak melenyapkan Midun dari kampung mereka untuk selama-lamanya.
Untuk melaksanakan niatnya itu, Kacak membayar beberapa orang pembunuh bayaran
untuk melenyapkan Midun. Usaha untuk melenyapkan Midun itu mereka laksanakan
ketika di kampung itu diadakan suatu perlombaan kuda. Sewaktu Midun dan Maun
sedang membeli makanan di warung kopi di pinggir gelanggang pacuan kuda itu,
orang-orang sewaan Kacak itu menyerang Midun dengan sebelah Midun pisau.
Tapi untung Midun berhasil mengelaknya. Namun perkelahian antar mereka tidak
bisa dihindari. Maka terjadilah keributan di dalam acar pacuan kuda itu.
Perkelahian itu berhenti ketika polisi datang. Midun dan Maun langsung
ditangkap dan dibawa ke kantor polisi.
Setelah diperiksa, Maun dibebaskan. Sedangkan Midun dinyatakan bersalah dan wajib mendekam dalam penjara. Mendengar kabar itu, waduuh betapa senangnya hati Kacak. Dengan Midun masuk penjara, maka dia bisa dengan bebas berbuat di kampung itu tanpa ada orang yang berani menjadi penghalangnya.
Setelah diperiksa, Maun dibebaskan. Sedangkan Midun dinyatakan bersalah dan wajib mendekam dalam penjara. Mendengar kabar itu, waduuh betapa senangnya hati Kacak. Dengan Midun masuk penjara, maka dia bisa dengan bebas berbuat di kampung itu tanpa ada orang yang berani menjadi penghalangnya.
Selama di penjara itu, Midun mengalami berbagai siksaan. Dia di siksa oleh Para
sipir penjara ataupun oleh Para tahanan yang ada dalam penjara itu. Para
tahanan itu baru tidak berani mengganggu Midun ketika Midun suatu hari berhasil
mengalahkan si jago Para tahanan.
Karena yang paling dianggap jago oleh Para tahanan itu kalah, mereka kemudian pada takut dengan Midun. Midun sejak itu sangat dihormati oleh para tahanan lainnya. Midun menjadi sahabat mereka.
Karena yang paling dianggap jago oleh Para tahanan itu kalah, mereka kemudian pada takut dengan Midun. Midun sejak itu sangat dihormati oleh para tahanan lainnya. Midun menjadi sahabat mereka.
Suatu hari, ketika Midun sedang bertugas menyapu jalan, Midun Melihat seorang
wanita cantik sedang duduk duduk melamun di bawah pohon kenari. Ketika gadis
itu pergi, ternyata kalung yang dikenakan gadis itu tertinggal di bawah pohon
itu. Kalung itu kemudian dikembalikan oleh Midun ke rumah si gadis. Betapa
senang hati gadis itu. Gadis itu sampai jatuh hati sama Midun. Midun juga
temyata jatuh hati juga sama si gadis. Nama gadis itu adalah Halimah.
Setelah pertemuan itu, mereka berdua saling bertemu dekat jalan dulu itu. Mereka saling cerita pengalaman hidup, Halimah bercerita bahwa dia tinggal dengan seorang ayah tiri. Dia merasa tidak bebas tinggal dengan ayah tirinya. Dia hendak pergi dari rumah. Dia sangat mengharapkan suatu saat dia bisa tinggal dengan ayahnya yang waktu itu tinggal di Bogor.
Keluar dari penjara, Midun membawa lari Halimah dari rumah ayah tirinya itu. Usaha Midun itu dibantu oleh Pak Karto seorang sipir penjara yang baik hati. Midun membawa Halimah ke Bogor ke rumah orang tua Halimah.
Ayah Halimah orangnya baik. Dia sangat senang kalau Midun bersedia tinggal bersama mereka. Kurang lebih dua bulan Midun bersama ayah Halimah. Midun merasa tidak enak selama tinggal dengan keluarga Halimah itu hanya tinggal makan minum saja. Dia mulai hendak mencari penghasilan. Dia kemudian pergi ke Jakarta mencari kerja. Dalam Perjalanan ke Jakarta. Midun berkenalan dengan saudagar kaya keturunan arab. Nama saudagar ini sebenarnya seorang rentenir. Dengan tanpa pikiran yang jelek-jelek, Midun mau menerima uang pinjaman Syehk itu.
Sesuai dengan saran Syehk itu, Midun membuka usaha dagang di Jakarta. Usaha Midun makin lama makin besar.
Usahanya maju pesat. Melihat kemajuan usaha dagang yang dijalani Midun, rupanya membuat Syehk Abdullah Al-Hadramut iri hati. Dia menagih hutangnya Midun dengan jumlah yang jauh sekali dari jumlah pinjaman Midun. Tentu saja Midun tidak bersedia membayarnya dengan jumlah yang berlipat lipat itu. Setelah gagal mendesak Midun dengan cara demikian, rupanya Syehk menagih dengan cara lain. Dia bersedia uangnya tidak di¬bayar atau dianggap lunas, asal Midun bersedia menyerahkan Halimah untuk dia jadikan sebagai istrinya. Jelas tawaran itu membuat Midun marah besar pada Syehk . Halimah juga sangat marah pada Syehk.
Karena gagal lagi akhirnya Syehk mengajukan Midun ke meja hijau. Midun diadili dengan tuntutan hutang. Dalam persidangan itu Midun dinyatakan bersalah oleh pihak pengadilan. Midun masuk penjara lagi.
Di hari Midun bebas itu, Midun jalan jalan dulu ke Pasar Baru. Sampai di pasar itu, tiba tiba Midun melihat suatu keributan. Ada seorang pribumi sedang mengamuk menyerang seorang Sinyo Belanda. Tanpa pikir panjang Midun yang suka menolong_orang itu, langsung menyelamatkan Si Sinyo Belanda.itu. Sinyo Belanda itu sangat berterima kasih pada Midun yang telah menyelamatkan nyawanya itu.
Setelah pertemuan itu, mereka berdua saling bertemu dekat jalan dulu itu. Mereka saling cerita pengalaman hidup, Halimah bercerita bahwa dia tinggal dengan seorang ayah tiri. Dia merasa tidak bebas tinggal dengan ayah tirinya. Dia hendak pergi dari rumah. Dia sangat mengharapkan suatu saat dia bisa tinggal dengan ayahnya yang waktu itu tinggal di Bogor.
Keluar dari penjara, Midun membawa lari Halimah dari rumah ayah tirinya itu. Usaha Midun itu dibantu oleh Pak Karto seorang sipir penjara yang baik hati. Midun membawa Halimah ke Bogor ke rumah orang tua Halimah.
Ayah Halimah orangnya baik. Dia sangat senang kalau Midun bersedia tinggal bersama mereka. Kurang lebih dua bulan Midun bersama ayah Halimah. Midun merasa tidak enak selama tinggal dengan keluarga Halimah itu hanya tinggal makan minum saja. Dia mulai hendak mencari penghasilan. Dia kemudian pergi ke Jakarta mencari kerja. Dalam Perjalanan ke Jakarta. Midun berkenalan dengan saudagar kaya keturunan arab. Nama saudagar ini sebenarnya seorang rentenir. Dengan tanpa pikiran yang jelek-jelek, Midun mau menerima uang pinjaman Syehk itu.
Sesuai dengan saran Syehk itu, Midun membuka usaha dagang di Jakarta. Usaha Midun makin lama makin besar.
Usahanya maju pesat. Melihat kemajuan usaha dagang yang dijalani Midun, rupanya membuat Syehk Abdullah Al-Hadramut iri hati. Dia menagih hutangnya Midun dengan jumlah yang jauh sekali dari jumlah pinjaman Midun. Tentu saja Midun tidak bersedia membayarnya dengan jumlah yang berlipat lipat itu. Setelah gagal mendesak Midun dengan cara demikian, rupanya Syehk menagih dengan cara lain. Dia bersedia uangnya tidak di¬bayar atau dianggap lunas, asal Midun bersedia menyerahkan Halimah untuk dia jadikan sebagai istrinya. Jelas tawaran itu membuat Midun marah besar pada Syehk . Halimah juga sangat marah pada Syehk.
Karena gagal lagi akhirnya Syehk mengajukan Midun ke meja hijau. Midun diadili dengan tuntutan hutang. Dalam persidangan itu Midun dinyatakan bersalah oleh pihak pengadilan. Midun masuk penjara lagi.
Di hari Midun bebas itu, Midun jalan jalan dulu ke Pasar Baru. Sampai di pasar itu, tiba tiba Midun melihat suatu keributan. Ada seorang pribumi sedang mengamuk menyerang seorang Sinyo Belanda. Tanpa pikir panjang Midun yang suka menolong_orang itu, langsung menyelamatkan Si Sinyo Belanda.itu. Sinyo Belanda itu sangat berterima kasih pada Midun yang telah menyelamatkan nyawanya itu.
Oleh Sinyo Belanda itu, Midun kemudian diperkenalkan kepada orang tua Sinyo
itu. Orang tua Sinyo Belanda itu ternyata seorang Kepala Komisaris, yang
dikenal sebagai Tuan Hoofdcommissaris. Sebagai ucapan terima kasihnya pada
Midun yang telah menyelamatkan anaknya itu, Midun langsung diberinya pekerjaan.
Pekerjaan Midun sebagai seorang juru Tulis.
Setelah mendapat pekerjaan itu, Midun pun melamar Halimah. Dan mereka pun menikah di Bogor di rumah orang tua Halimah.
Setelah mendapat pekerjaan itu, Midun pun melamar Halimah. Dan mereka pun menikah di Bogor di rumah orang tua Halimah.
Prestasi
kerja Midun begitu baik di mata pimpinannya. Midun kemudian diangkat menjadi
Kepala Mantri Polisi di Tanjung Priok. Dia langsung ditu¬gaskan menumpas para
penyeludup di Medan. Selama di Medan itu, Midun, bertemu dengan adiknya, yaitu
Manjau. Manjau bercerita banyak tentang kampung halamannya. Midun begitu sedih
rnendengar kabar keluarganya di kampung yang hidup menderita. Oleh karena itu
ketika dia pulang ke Jakarta, Midun langsung minta ditugaskan di Kampung
halamannya. Permintaan Midun itu dipenuhi oleh pimpinannya.
Kepulangan Midun ke kampung halamannya itu membuat Kacak sangat gelisah. Kacak waktu itu sudah menjadi penghulu di kampung rnereka. Kacak menjadi gelisah sebab dia takut perbuatannya yang telah menggelap¬kan kas negara itu akan terbongkar. Dan dia yakin Midun akan berhasil rnembongkar perbuatan jeleknya itu. Tidak, lama kemudian, memang Kacak ditangkap. Dia terbukti telah menggelapkan uang kas negara yang ada di desa mereka. Akibatnya Kacak masuk penjara atas perbuatannva itu.
Sedangkan Midun hidup berbahagia bersama istri dan seluruh keluarga¬nya di kampung.
Tanpa memberi tahu siapa pun, Hamid meninggalkan kampungnya menuju Siantar,
Medan. Kepergiannya kali ini bukan lagi untuk menuntut ilmu di sekolah, seperti yang ia lakukan beberapa tahun yang lalu. Hamid, ibarat orang sudah "jatuh tertimpa tangga pula". Setelah Haji Jafar, orang yang selama ini banyak menolongnya, berpulang ke Rahmatullah, tak lama kemudian ibu kandung yang dicintainya menyusul pula ke alam baka. Hamid kini tinggal sebatang kara. Ayahnya telah meninggal ketika ia berusia empat tahun. Dalam kemalangannya itu, mamak Asiah dan anaknya, Zainab, tetap menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Oleh karena itu, Mak Asiah begitu yakin terhadap Hamid untuk dapat membujuk Zainab agar mau dikawinkan dengan saudara dari pihak mendiang suaminya. Dengan berat hati, Hamid mengutarakan maksud itu walaupun yang sebenarnya, ia sangat mencintai Zainab. Namun, karena Zainab anak orang kaya di kampung itu, ia tak berani mengutarakan rasa cintanya itu.
Setibanya di Medan, Hamid sempat menulis surat kepada Zainab. Isi surat itu mengandung arti yang sangat dalam tentang perasaan hatinya. Namun, apa mau dikata, ibarat bumi dengan langit; rasanya tak mungkin keduanya dapat bersatu. Meninggalkan kampung halamannya berikut orang yang dicintainya adalah salah satu jalan terbaik. Begitu menurut pikiran Hamid.
Dari Medan, Hamid meneruskan perjalanan ke Singapura dan akhirnya sampailah ia di tanah suci, Mekah. Di Mekah ia tinggal pada seorang Syekh, yang pekerjaannya menyewakan tempat bagi orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji.
Telah setahun Hamid tinggal di kota suci itu. Pada musim Haji, banyaklah orang datang dari berbagai penjuru. Tanpa diduganya, teman sekampungnya, menyewa pula tempat Syekh itu. Orang yang baru datang itu bernama Saleh, suami Rosna, yang hendak menuntut ilmu agama di Mesir setelah ibadah haji selesai.
Dari pertemuan yang tak disangka-sangka itu, ternyata banyak sekali berita dari kampung halaman-terutama berita tentang Zainab yang sejak ditinggalkan Hamid dan tidak jadi dikawinkan dengan saudara ayahnya itu, kini senang dalam keadaan sakit-sakitan. Hamid sangat senang hatinya mendengar kabar itu, tetapi ia harus menyelesaikan ibadah hajinya yang tinggal beberapa hari. la bermaksud segera pulang ke kampung. Sementara itu Saleh, teman Hamid, segera mengirim surat kepada istrinya. Surat Saleh diterima istrinya yang segera pula memberitahukannya kepada Zainab. Alangkah senang hati Zainab mengetahui bahwa orang yang dicintainya ternyata masih ada. Namun, penyakit yang diderita Zainab makin hari makin parah. Dengan segala kekuatan tenaganya ia menulis surat untuk orang yang dikasihinya
Surat yang dikirim Zainab diterima Hamid. Namun, rupanya isi surat itu sangat mempengaruhinya. Dua hari setelah itu, bersamaan dengan keberangkatan para jemaah haji ke Arafah guna mengerjakan wukuf, kesehatan Hamid terganggu. Walaupun demikian, Hamid tetap menjalankan perintah suci itu.
Sekembalinya Hamid dari Arafah, suhu badannya semakin tinggi. Apalagi di Arafah, udaranya sangat panas. Hamid tak mau menyentuh makanan sehingga hadannya menjadi lemah. Pada saat yang sama, surat dari Rosna diterima Saleh yang menerangkan bahwa Zainab telah wafat. Kendati Hamid dalam keadaan lemah, ia mengetahui hahwa ada surat dari kampungnya. Firasatnya begitu kuat pada berita surat yang disembunyikan Saleh. Hamid menanyakan isi surat itu. Dengan berat hati Saleh menerangkan musibah kematian Zainab. "O, jadi Zainab telah dahulu dari kita?" tanyanya pula
Ketika akan berangkat ke Mina, Hamid tak sadarkan diri. Temannya, Saleh, terpaksa mengupah prang Badui untuk membawa Hamid ke Mina. Dari situ mereka menuju Masjidil Haram-kemudian mengelilingi Kabah sehanyak tujuh kali. Tepat di antara pintu Kabah dengan Batu Hitam, kedua prang Badui itu diminta berhenti. Hamid mengulurkan tangannya, memegang kiswah sambil memanjatkan dua yang panjang: "Ya Rabbi, Ya Tuhanku, Yang Maha Pengasih dan Penyayang!" Semakin lama suara Hamid semakin terdengar pelan. Sesaat kemudian, Hamid menutup matanya untuk selama-lamanya.
Kepulangan Midun ke kampung halamannya itu membuat Kacak sangat gelisah. Kacak waktu itu sudah menjadi penghulu di kampung rnereka. Kacak menjadi gelisah sebab dia takut perbuatannya yang telah menggelap¬kan kas negara itu akan terbongkar. Dan dia yakin Midun akan berhasil rnembongkar perbuatan jeleknya itu. Tidak, lama kemudian, memang Kacak ditangkap. Dia terbukti telah menggelapkan uang kas negara yang ada di desa mereka. Akibatnya Kacak masuk penjara atas perbuatannva itu.
Sedangkan Midun hidup berbahagia bersama istri dan seluruh keluarga¬nya di kampung.
Dibawah Lindungan Ka'bah oleh Buya Hamka
Medan. Kepergiannya kali ini bukan lagi untuk menuntut ilmu di sekolah, seperti yang ia lakukan beberapa tahun yang lalu. Hamid, ibarat orang sudah "jatuh tertimpa tangga pula". Setelah Haji Jafar, orang yang selama ini banyak menolongnya, berpulang ke Rahmatullah, tak lama kemudian ibu kandung yang dicintainya menyusul pula ke alam baka. Hamid kini tinggal sebatang kara. Ayahnya telah meninggal ketika ia berusia empat tahun. Dalam kemalangannya itu, mamak Asiah dan anaknya, Zainab, tetap menganggapnya sebagai keluarga sendiri. Oleh karena itu, Mak Asiah begitu yakin terhadap Hamid untuk dapat membujuk Zainab agar mau dikawinkan dengan saudara dari pihak mendiang suaminya. Dengan berat hati, Hamid mengutarakan maksud itu walaupun yang sebenarnya, ia sangat mencintai Zainab. Namun, karena Zainab anak orang kaya di kampung itu, ia tak berani mengutarakan rasa cintanya itu.
Setibanya di Medan, Hamid sempat menulis surat kepada Zainab. Isi surat itu mengandung arti yang sangat dalam tentang perasaan hatinya. Namun, apa mau dikata, ibarat bumi dengan langit; rasanya tak mungkin keduanya dapat bersatu. Meninggalkan kampung halamannya berikut orang yang dicintainya adalah salah satu jalan terbaik. Begitu menurut pikiran Hamid.
Dari Medan, Hamid meneruskan perjalanan ke Singapura dan akhirnya sampailah ia di tanah suci, Mekah. Di Mekah ia tinggal pada seorang Syekh, yang pekerjaannya menyewakan tempat bagi orang-orang yang akan menunaikan ibadah haji.
Telah setahun Hamid tinggal di kota suci itu. Pada musim Haji, banyaklah orang datang dari berbagai penjuru. Tanpa diduganya, teman sekampungnya, menyewa pula tempat Syekh itu. Orang yang baru datang itu bernama Saleh, suami Rosna, yang hendak menuntut ilmu agama di Mesir setelah ibadah haji selesai.
Dari pertemuan yang tak disangka-sangka itu, ternyata banyak sekali berita dari kampung halaman-terutama berita tentang Zainab yang sejak ditinggalkan Hamid dan tidak jadi dikawinkan dengan saudara ayahnya itu, kini senang dalam keadaan sakit-sakitan. Hamid sangat senang hatinya mendengar kabar itu, tetapi ia harus menyelesaikan ibadah hajinya yang tinggal beberapa hari. la bermaksud segera pulang ke kampung. Sementara itu Saleh, teman Hamid, segera mengirim surat kepada istrinya. Surat Saleh diterima istrinya yang segera pula memberitahukannya kepada Zainab. Alangkah senang hati Zainab mengetahui bahwa orang yang dicintainya ternyata masih ada. Namun, penyakit yang diderita Zainab makin hari makin parah. Dengan segala kekuatan tenaganya ia menulis surat untuk orang yang dikasihinya
Surat yang dikirim Zainab diterima Hamid. Namun, rupanya isi surat itu sangat mempengaruhinya. Dua hari setelah itu, bersamaan dengan keberangkatan para jemaah haji ke Arafah guna mengerjakan wukuf, kesehatan Hamid terganggu. Walaupun demikian, Hamid tetap menjalankan perintah suci itu.
Sekembalinya Hamid dari Arafah, suhu badannya semakin tinggi. Apalagi di Arafah, udaranya sangat panas. Hamid tak mau menyentuh makanan sehingga hadannya menjadi lemah. Pada saat yang sama, surat dari Rosna diterima Saleh yang menerangkan bahwa Zainab telah wafat. Kendati Hamid dalam keadaan lemah, ia mengetahui hahwa ada surat dari kampungnya. Firasatnya begitu kuat pada berita surat yang disembunyikan Saleh. Hamid menanyakan isi surat itu. Dengan berat hati Saleh menerangkan musibah kematian Zainab. "O, jadi Zainab telah dahulu dari kita?" tanyanya pula
Ketika akan berangkat ke Mina, Hamid tak sadarkan diri. Temannya, Saleh, terpaksa mengupah prang Badui untuk membawa Hamid ke Mina. Dari situ mereka menuju Masjidil Haram-kemudian mengelilingi Kabah sehanyak tujuh kali. Tepat di antara pintu Kabah dengan Batu Hitam, kedua prang Badui itu diminta berhenti. Hamid mengulurkan tangannya, memegang kiswah sambil memanjatkan dua yang panjang: "Ya Rabbi, Ya Tuhanku, Yang Maha Pengasih dan Penyayang!" Semakin lama suara Hamid semakin terdengar pelan. Sesaat kemudian, Hamid menutup matanya untuk selama-lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar